Rabu, 03 April 2013

cerpen




Kota Diantara Bandung dan Surabaya

Sayu matanya dan ku terduduk di sudut kota, ditemani gadis ini, dengan udara malam yang dingin, juga indahnya background kota ini, tenang mengingat memory klasik kita berdua. Aku yang takpernah memaksa, pemuda kampung dapat memetik bunga safron ini, aku hanya berdoa saat Engkau mempertemukanku dengan dia, dan membuatku mencintainya, jika aku bukanlah pemilik tulang rusuknnya, maka janganlah biarkan aku merindukan kehadirannya, jangan sampai hatiku berlabuh dihatinya, kikislah pesonanya dari pelapuk mataku, jauhkan dia dari relung hatiku, gantilah dengan damba dariMu untukku. Tetapi jika Engkau ciptakan dia untukku, jadikan aku untukknya dan dia untukku. Terimakasih Tuhan Engkau telah ciptakan dia dan mempertemukanku dengannya, terimakasih untuk saat-saat yang kita lalui bersama, terimakasih Engkau mempercayakan gadis ini untukku, dan sampai saat ini bahuku menjadi sadarannya setelah melepas lelah bermain di kota ini. Semua berawal dari kota ini, kota ini membuat satu kisah seribu cerita untukku.
 Kota yang menjadi ciri khas pasiwisata di Indonesia, dengan kebudayaannya dan tempat-tempat wisatanya, membuat kota ini serasa hidup dan ramai 24 jam. Di beberapa titik di kota ini selalu ramai dengan beribu-ribu jenis wajah, dari mulai suku-suku di Indonesia sampai turis mancanegara meramaikan kota ini. Setiap sudut perkotaan atau jalan-jalan disini berbeda dengan kota lain, semuanya serba khas dengan adat budaya yang dipakai disini, sampai penghias dan bangunan di sepanjang jalanpun akan membuat setiap orang tau nama tempat ini. Warganya pun ramah-ramah, ya wajar saja orang-orang nan jauh disana mengatakan kalau Indonesia adalah negara teramah di dunia.
Selain semua itu, kota ini yang memberiku cerita, kesan, dan perjalanan hidupku. Kota ini yang menjadi saksi hidupku adalah film terbaik di dunia, kota ini membuat pertama kali aku menaiki kereta, kota ini yang membuat aku tahu alasan lagu kereta api waktu di taman kanak-kanak dulu menyebutkan lirik “ke Bandung-Surabaya”, kota ini yang memperdengarkanku kabar buruk yang membahagiakan hati, kota ini yang menjadi solusi jarak diantara aku dan dia, karena disinilah akhir cerita ku ketika memiliki dia, karena di kota inilah aku menemukan jilid penutup cerita hidupku. Berawal saat aku pergi dari stasiun Kiaracondong, dan untuk pertama kalinya aku menaiki kereta, meski ramai aku tetap terlelap menikmati indahnya perjalanan transportasi ini, lelah dan lamanya perjalanan ini, membuatku memejamkan mata. Ku bayangkan disudut lain, dia yang berangkat dari satsiun Gubeng pun pasti akan menikmati perjalannannya disana. Aku tak sabar ingin segera sampai, berjam-jam telah kulalui dengan beberapakali waktu istirahat, dan sampailah aku di stasiun kota ini, stasiun diantara st.Kiaracondong-st.Gubeng, ya stasiun Lempunyangan, disinilah kita akan bertemu, aku tunggu kedatanganmu disini. Saat akan kutanya keberadaan dia sampai mana, sial hpku mati, akupun kebingungan dan aku hanya bisa bertanya pada pos informasi, untuk menanyakan jadwal kedatangan kereta, kutunggu beberapa jam, dan karna lelahnya aku tertidur di kursi tunggu yang ada si stasiun, saat mataku terpejam, seketika dengan perlahan mataku terbuka, karna terusik oleh suara gemuruh dan getaran kereta dari arah kananku tepatnya dari arah timur, sontak akupun lansung terbangun dan meyakini kalo ini kereta yang dia naiki, seperti mencari jarum di tumpukkan jerami bila harus ku telusuri gerbong itu, tak sabar dan saking kegiranngannya, aku mamaksa sambil memohon pada petugas statsiun meminjam pengeras suara, dengan pintarnya mengarang cerita, aku berhasil meminjamnya, dan akupun langsung menyuruh dia datang ke sumber suara.
Perasaan yang tak tenang, karena diapun belum datang juga, seketika hilang saat seseorang menepuk pundakku, saat aku menoleh, ternyata yang menepuk pundakku adalah petugas stasiun, ia menunjukkan seseorang padaku, yang membuat ribuan hari penungguanku tak sia-sia, ya dia Kiki, aku pun dengan puasnya menatap dia, tak ingin membuang waktu untuk bersenang-senang bersamanya, kitapun bergegas kerumah temanku Firki disini, untungnya Kiki bisa tidur dengan Fira, adiknya Firki. Kitapun beristirahat melepas penat sejenak, dan saat semuanya bersiap menikmati malam. Kita bergegas ke alun-alun kota, aku, dia, Firki dan Yara kekasihnya. Ramai sekali disini, semua serba warna-warni, dari lampu begitupun jenis rupa wajah pengunjungnya, belum kulihat ada muka murung disini. Ditengah alun-alun kota ini, ada dua pohon besar, dan konon katanya, kalo bisa jalan diantara pohon itu, permohonan akan terkabul, dan akupun mencobanya, begitupula dengan dia. Aku memohon dalam hati, semoga permohonan yang diminta dia adalah memohon agar aku menjemput dari orangtuanya dewasa kelak. Di alun-alun kota pun kita menaiki sepeda yang kerangkanya entah seperti becak ataupun mobil, dengan hiasan lampu warna-warni yang tak terhitung jumlahnya, kitapun mengayuh dan berkeliling alun-alun.
Sampai kelelahan dan rasa lapar menghantui, padahal waktu menunjukkan tengah malam, tapi kita belum bosan, kitapun pergi ke angkringan melepas lelah, ditemani jagung bakar dan secangkir kopi ireng. Selepas dari sana kita berfoto-foto di plengkung, keraton, tugu dan sekitaran kota. Esok harinya kita hanya berdua mengunjungi keraton, berfoto-foto lalu kita melanjutkan kunjungan ke Museum Affandi , lukisan dan seni-seni lainnya begitu indah, sampai kita tak mengenal lelah. Selanjutnya Firki mengajak kita berdua ke pantai, karna bahagianya disana, kita hampir mencoba semua pantai-pantai disana, Pantai Wediombo, Pantai Indriyanti dan pantai sekitaran selatan kota ini. Tujuan terakhir kita sebelum habis masa liburan perkuliahan adalah Gua Pindul, tak banyak buang waktu kita pergi ke sana. Saat mentari belum menunjukkan dirinya, kita dipandu untuk memakai ban pelampung, karna cara masuk gua mesti menyusuri sungai, kaki serasa beku karna dinginnya air sungai di pagi hari itu, untungnya kehangatan mengalir di tanganku saat dia memegang nya, dan kita menyusuri gua di kegelapan itu dengan kepercayaan takkan melepaskan pasangan kita, begitu sampainya digua Pindul, kita disuguhi keindahannya, disaat sinar sang mentari muncul menerobos lubang dinding-dinding gua, sorotan sinar mentari itu saling berpadu dengan air, dan menimbulkan warna-warna yang begitu indah, kita seperti dihadapkan pada pelangi yang ada di tangan kita, semua warna mucul seketika, sayang sangat sulit mengabadikannya, karena kita ada didalam air, kita hanya dapat mengenang momen indah ini. Air yang berpadu dengan sinarnya, menghasilkan keindahan, semoga akupun akan seperti itu.
Semua telah selesai, kita harus mengakhiri semua kebahagiaan ini, setelah semuanya bergegas packing, setelah berpamitan pada orang tua Firki , kita berempat langsung pergi ke stasiun Lempunyangan, Firki yang harus melepas Yara di kota ini, karna dia akan pergi bersamaku ke rutinitas normal seperti biasanya. Begitupun aku dan dia yang harus sama-sama pergi meninggalkan kota kenangan ini, terasa berat dan tidak maupun akan percuma untuk di bahas, bisakah aku tanpa dia setelah seminggu yang terasa satu jam ini, sanggupkah aku sendiri tanpanya. Sehangat pelukan hujan, saat dia palingkan wajah, tenang wajahnya berbisik inilah waktu yang tepat tuk berpisah, selembut belaian badai, saat dia lambaikan tangan, jejak langkahmu terbaca inilah waktu yang tepat tuk berpisah. Sayu matanya yang kulihat membuatku ingin meneteskan air mata, disaat kereta dia yang duluan menjemputnya dan akan membawanya pergi jauh lagi, meski begitu aku bersyukur tidak meninggalkannya duluan dengan kepergian keretaku.
Suara gemuruh gerbong depan terdengar jelas, dan aku masih memegang tangan dia lewat jendela kereta itu, aku tak ingin melepasnya, dan aku tak ingin berhenti menatapnya, Firki coba menenangkanku dengan menepuk pundakku , dan Yara sepertinya telah menangis, aku tidak boleh menangis, aku laki-laki, jantung terasa lepas, terhenyut semua organ dalamku ketika tangannya dibawa pergi ular besi ini, satu hal yang membuatku tak berhenti menangis dan memukuli tanah itu, saat dia berkata, bahwa dia telah putus dengan pacarnya, dan diapun berkata bahwa aku yang dia inginkan, jemputlah aku dari orang tuaku dewasa kelak. Takku hiraukan semua orang yang ada di stasiun itu, Firki dan Yara pun ikut terhanyut dan coba menenangkanku, apadaya jiwa ini telah roboh, aku lemah tak bisa kukendalikan. Sampai kereta ku naiki, aku dan firki hara terdiam dikursi, meratapi kesedihan itu.
Tak pernah kubayangkan, orang seperti aku yang memerankan film terbaik di dunia ini, aku yang menemukan dia, aku yang jatuh dalam peluknya, semua serba diantara, saat aku dan dia berada diantara kota ini, saat aku berada diantara dia dan Isma, dia diantara aku dan Faris mantannya, St.Lempunyangan diantara St.Kiaracondong dan St. Gubeng, dan kota ini diantara Bandung dan Surabaya. Semua berawal, dari ruko c-11.
Jalan kiaracondong ruko c-11 Bandung, disanalah kutemukan jilid penutup cerita hidup ini. Disaat film terbaik diputar, ketika permainan dimulai, dan disanalah kutemukan dia. Seorang anak kampung yang memetik bunga safron, itulah aku yang menemukan dia, terlalu istimewa dia untukku,  sebenarnya sangat aku sayangkan, disaat orang taksepadan seperti aku yang memiliki dia,  salahkah aku Tuhan ?.
Dia yang menerangi,  meramaikan, dan memberiku pijakan.  Senyum, tingkah dan suara dia yang  tidak akan pernah dimiliki wanita manapun. Andai dia lihat, dengar dan rasakan dirinya dari diriku , pasti dia tau, anugerah terindah yang pernah kumiliki. Cantik, pintar, baik, mapan, muda, siapa lelaki yang tidak mau dengan dia ? .
Bila ku ingat, sebelum aku bisa duduk bersamanya ditempat ini. Seribu cerita, berawal ketika aku kelas 3 SMA, dan sedang  gentingnya persiapan UN dan SNMPTN, mencari tempat les, maklum aku anak yang jarang membuka buku, hampir 3 tahun ku habiskan dengan sepak bola , band, balapan motor dan sampai perkelahian pun mengisi daftar cerita putih abu-abu ku. Mama menyuruhku untuk pergi ke jalan kiaracondong, blok griya ruko c-11, ya tempat lesku disana, bimbel Agustinus dengan personil, bapak Agus sebagai pengajar dan istri tercintanya bu Agus sebagai asisten si bapa.  Pertama kali pembelajaran dimulai,  aku melirik gadis berkerudung yang akan menjadi teman kelasku,  dengan urakannya aku mulai berkenalan dengan teman-teman kelasku, Ardi, Boggy, Insan, Poppy  dan si cantik yang kulirik itu, Sani. Hari-haripun berlalu dan bu Agus mengetahui background kehidupanku, entah dari siapa ? dan akupun menjadi maskot di tempat les itu, setiap pergerakanku pasti tertangkap kamera bu Agus, dan dengan khasnya, ia mengekspose semuanya, sampai  akhirnya aku di gosipkan dengan Sani, meski sani memiliki pacar, ya meski suka, tapi pantang bagiku untuk merebut pacar orang.
Waktupun terus berlalu dan UN telah beres dilaksanakan, tapi bimbel masih terus berlanjut. Dan ketika datang ke tempat les, bu agus memberitahu, bahwa akan ada 2 orang murid baru dari Kalimantan, tepatnya Balikpapan. Ketika anak-anak berkumpul , datang dua gadis berjilbab, Kiki dan Hani namanya. Beberapa hari kulihat, mereka berdua pendiam, kurang asik dan akupun sidikik kepoin mereka ke bu agus dan salah kata sedikit, kembali dengan khasnya bu agus menggosipkan aku dengan kiki, kiki yang baru kuketahui dia baru berumur 16tahun, dia anak aksel , hebatnya dia. Beberapa minggu gosip mulai menyebar dan tak aneh lagi di perbincangkan, dan membuatku jengkel sampai aku tidak mau berdekatan dengan dia. Suatu saat, ketika perlajaran berlangsung, aku ga ngerti apa yang pa agus ajarkan, tiba-tiba reflek aku menepuk orang depan aku dan bertanya soal pelajaran tadi, tak kusadari dia Kiki dan dengan malunya aku pun bertanya padanya, itu pertama kali aku bertatapan mata dengan dia. Aneh sepertinya aku teringat terus kejadian itu, wajah, senyum, dan suara dia, selalu ada dalam pikiranku. Di tambah lagi bu Agus mengiangi telingaku dengan gosipan-gosipannya, yang membuat asa aku soal kiki, waktupun yang tak pernah berhenti, membuat tumbuh rasa untuk dia, sampai beresnya SNMPTN dan sakitnya perpisahan ketika tunas baru yang segar tumbuh, harus dibuang . Semua karena kiki harus pulang ke Balikpapan lagi, ya dia membereskan kelulusannya disana.
Bodohnya diri ini, ketika dia wajah memberi tanda bahwa waktunya tepat untuk berpisah aku hanya senyum, dan membiarkannya pergi tanpa satu patah katapun mengiringi kepergiannya, entah kenapa urat-urat ini tak menyampaikan rasa pada otakku untuk berkata , semuanya seperti beku. Dan disaat hari-hari tak ada dia, akupun selalu berdoa aga dia bertemu denganku di Universitas Bandung, ya karena dia memilih kedokteran Universitas Bandung di pilihan studynya, begitupun denganku, meski aku di jurusan psikologi. Disaat aku berinisiatif untuk membuat jaket bimbel untuk mengenang tempat les itu, disaat itu pula aku beralibi untuk mendekati kiki, lewat sms, ya sambil menyelam minum air, mungkin itu lebih tepat. Akupun sudah tak canggung dengan dia, obrolan-obrolan dan cerita-ceritapun mendekatkan kita. Tak pernah kusangka, dan tak pernah ku tahu, mengapa bisa timbul rasa kepada dia, saat ku bertatapan dengannya, semua sisi wajahnya menunjukan kecantikkannya, padahal yang ku lirik sebelumnya bukan dia, tapi semua berubah, dan yang membuatku bersemangat untuk mendapatkan gadis itu adalah dorongan teman-teman dan bu Agus tentunya, yang sudah seperti suporter sepakbola saja berteriak di sebelah telingaku. Pengumuman hasil SNMPTN pun telah tiba, dan tak kusangka aku berhasil tembus Universitas Bandung, bahagia meliputi diriku, tapi tanggapan orang tuaku biasa saja, entah kenapa. Sayang surat berita itu tak mencantumkan nama Kiki disana, seketika kebahagiaan yang munculpun sirna, dan diapun berencana mengambil study di Surabaya jurusan Teknik Kimia, kecewa dan bujukanpun percuma, bulatnya untuk belajar di kota itu sudah tetap, bukan Bandung yang menjadi pijakkan dia.
Meski di terima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama, aku mengikuti tes perguruan tinggi negeri lainnya, yaitu Politeknik terbaik di negeri ini, yang terletak di dekat rumahku. Untuk berjaga-jaga, akupun melakukan regristasi di Universitas Bandung, hari pertama aku menginjakkan kaki di kampus, kulihat di kampus ini wanita mendominasi siswa-siswanya, seperti biasa dengan urakkannya aku dapat berkenalan banyak orang disana, ya usilnya aku menandai gadis –gadis yang menarik, meski akupun taklupa untuk berkenalan dengan pria-pria yang akan menjadi temanku disana. Aulia, Hawary dan Nouval dia sejurusan denganku, berbeda dengan Elva di jurusan Ekonomi, Isma di jurusan Hukum,  mereka teman akrabku. Hari membosankanpun tiba, ospek kampus akan digelar, dan kita mahasiswa baru menjadi wayangnya yang akan mereka gerakkan, di hari pertama aku membuat masalah lagi, aku tidak membawa apa-apa yang mereka suruh, meski Aulia telah memberitahuku, tak nyaman ku di geromboli kaka tingkat, dengan bodohnya, aku melawan dan hampir berkelahi dengan mereka, tepatnya dengan Gio.
Kasus itupun menjadi perbincangan anak-anak, aku dicerca, bahkan aku di blokir dari grup jurusan yang ada di Facebook. Untungnya, disaat kehawatiran akan di keroyok oleh kaka tingkat, aku tembus di Politeknik yang kutuju, yang membuat aku tak perlu datang lagi ke Ospekan itu. Tapi bukan karna takut berkelahi aku memilih pindah karena untuk masa depanku dan juga dorongan keluarga yang menyuruhku memilih Politeknik itu. Aulia pun menjadi jubir aku di ospekan sana, dan meskipun sedih meninggalkan teman disana, ini harus tetap kujalani. Terdengar kabar kalo Kikipun di terima di kampusnya di Surabaya. Meski aku tahu kiki jauh di kota Surabaya, aku memberanikan diri untuk mengutarakan isi hati ini, dan diapun meresponnya, sayang dengan syarat ia ingin fokus dulu beberapa bulan di jadwalnya yang padat dengan ospeknya yang melelahkan, membuat semuanya tergantung seperti lampu dikamarku, lama aku tak ditemani dia. Kampus baruku di dominasi oleh pria-pria, maklum jurusan disini semuanya Teknik dan memerlukan kerja keras extra berkuliah disini, disaat padat dan streesnya kuliah, Isma datang menemani hari-hariku, terhanyut dalam cerita bersama Isma, membuat statusku dari lajang berubah dan akupun menjadi kekasih Isma. Kecewanya disaat hari pertama itu, ada ucapan selamat dari gadis itu, dia Kiki dan aku berusaha menutupi semuanya, karena sejujurnya aku belum melupakan bahkan sampai saat itu, Kikilah orang yang aku tuju. Semua hancur, diapun menghilang, aku yang masih memikirkan Kiki dan Isma yang tak pernah mengerti kesibukanku di kampus, membuat aku sendiri dan melajang lagi statusku. Aku mencoba menjelaskan dan mendekati Kiki, sayang sulit dia sudah kecewa padaku, akupun menyadari kesalahanku, tapi Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu dengan gadis pujaanku itu, ia akan pulang kerumah barunya di Jakarta, dan aku beralibi lagi, untuk memberikan jaket bimbel yang belum kupaketkan ke Surabaya, karena alasan jaket Kiki mempersilahkan aku datang kerumahnya di Jakarta.
Meski jauh, tapi tak sejauh Surabaya, dan kesempatan tak akan datang lagi. Aku segera pergi ke Jakarta dan menginap di rumah Agung temanku, untuk menunggu kedatangan Kiki. Setelah datang, aku bergegas pergi ke rumahnya, ditemani Agung aku menaiki Transjakarta, dengan khasnya ibukota tercinta ini macet membuatku kelelahan, akupun menaiki bajai untuk sampai di rumahnya. Saat aku membunyikan bel rumahnya dan seketika itu pula aku terbawa ke dunia perfilman, gadis ini beranjak dewasa, ia bertambah cantik, anggun dan lucu. Akupun berkenalan dengan Ibunya, dan adiknya. Disana aku sempat merasa tersanjung dengan kata yang di ucapkan dia, pertama kali dan diucapkan oleh gadis yang kupuja, ia menyeruku mas ivan, agar adiknya memberi salam padaku. Semakin berat aku pergi meninggalkan dia, disaat Tuhan mempertemukan kita lagi, tapi semuanya harus ku jalani. Dia yang kecewa padaku, membuat semuanya terasa sangat teramat menyakitkan, saat statusnya berpacaran dengan laki-laki kampusnya di Surabaya, apa daya tangan tak sanggup, aku hanya dapat terdiam meratapi kesedihan ini. Ingin aku datang ke Surabaya, sayang keadaan membuatku takmungkin merealisasikannya, ingin aku melupakan dia sayang sepertinya nama dia yang tersaring dalam otak dan menjadi tujuanku. Sakit selalu menemaniku saat membuka akun Facebook dia dengan statusnya bersama oranglain, dan ke galauan itu bertambah ketika aku tak dapat menyingkirkan namanya dalam pikiranku, aku terlanjur mencintainya, dan akupun tak pernah menyesalinya. Aku akan memegang janji yang pernah kutuliskan untuknya, aku akan menunggu dia sampai kapanpun. Dan akupun takpernah lelah untuk menyatakan rasa ini padanya, ia pun sebenarnya mencintaiku tapi ia tak mungkin menninggalkan kekasihnya, meski aku jahat bila berpikir untuk mendoakannya segera putus, tapi apadaya itu inginku. Dan meski pantang bagiku untuk merebut kekasih orang, hanya dia yang membuatku ingin bergegas ke Surabaya, akupun akan mencoba untuk tidak mengghapuskan nama kekasihnya dalam pikiran dia.
 Saat liburan tiba, aku mengajak dia untuk berlibur bersama, dan aku rela dengan bekalku yang pas-pasan bila harus pergi ke Surabaya, hanya untuknya. Tapi diapun tak ingin aku kesusahan, dan kota diantara Bandung dan Surabaya, tempat itulah yang kami tuju , ya disinilah semua kebahagiaanku dan jilid penutup cerita hidup ku temukan, ya di Jogjakarta.


3 komentar: